Pangeran
Antasari Ahli Strategi Grilya
Pahlawan Nasional asal
Kalsel, Pangeran Antasari.
Pangeran Antasari dikenal
sebagai pejuang kemerdekaan yang sangat gigih melawan penjajah Belanda, kata
Bupati Batiola H Hasanuddin Murad.
Selain itu, kata bupati pada
peringatan ke 148 tahun wafatnya Pahlawan Nasional Antasari, dia juga dikenal
pribadi yang besar dan seorang ahli strategi perang grilya yang mampu memimpin
dan menggerakan para pengikutnya dalam mencapai tujuan bersama.
Kunci keberhasilan
perjuangan pada waktu itu tidak lain dari semangat heroisme dan patriotisme
rela berkorban serta keikhlasan yang jauh dari pamrih yang dimiliki oleh para
pejuang, tutur Hasanuddin Murad.
Suatu semangat yang saat
ini sedang mengalami erosi dan terdegradasi oleh pola kepentingan individual
yang semakin menonjol.
Tema yang ditetapkan pada
peringatan wafatnya Pangeran Antasari tahun 2010 adalah “Melalui peringatan
wafatnya Pangeran Antasari ke-148 tahun, tanamkan dan tumbuhkan semangat serta
keikhlasan dalam meneruskan membangun Kalimantan Selatan.”
Tema memiliki tiga kata
kunci yang patut diperhatikan bersama yakni semangat dan keikhlasan serta
meneruskan membangun Kalsel. Dengan mewarisi dan meneladani semangat dan
keikhlasan Pangeran Antasari dalam memperjuangkan kemerdekaan akan menjadi
motivasi dan inspirasi bagi semua sebagai generasi penerus dalam meneruskan dan
membangun Kabupaten Batola sebagai bagian intergral dari Provinsi Kalsel dan
bangsa Indonesia.Dengan motivisi dan inspirasi itulah seharusnya kita semua merasa
terpanggil untuk mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan yang
pernah dikobarkan para pahlawan terutama dalam kaitan mewujudkan cita-cita
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera, ajak bupati. Kewajiban untuk
mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan menjadi semakin penting,
lanjut dia, di saat dihadapkan pada berabagai persoalan bangsa, dimana sebagai
bagian integral dari NKRI persoalan bangsa juga berpengaruh terhadap kondisi
politik, ekonomi, sosial, budaya, serta keamanan di daerah.
Cut Nyak Dien
Nangroe Aceh Darussalam
merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak
kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari
perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan
berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.
Pahlawan Kemerdekaan
Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh
memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga
bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku
Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan
Kemerdekaan Nasional.
TJOET NJAK DIEN lahir pada
1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya
bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV.
Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh
yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra
Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.
Sebagaimana lazimnya
putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien memperoleh pendidikan,
khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga
para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara
menghadapi atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan
sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan
agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki
sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.
Tjoet Njak Dien dibesarkan
dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana perang Aceh.
Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu
semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan
meluap-luap kepada kaum kafir.
Tjoet Njak Dien dinikahkan
oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga
putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh
kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan
agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah
semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir
(Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga
sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya
kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang
anak laki-laki.
Jiwa pejuang memang sudah
diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak
kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya
hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.
Ketika perang Aceh meletus
tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan sehingga merupakan
tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul
dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya
dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang
suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan
perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang
menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka
yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang
berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.
Begitu menyakitkan
perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber dari
kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28
tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah
hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas
tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia
terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.
Dua tahun setelah kematian
suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi
dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan
pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya
benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang
terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda.
Perlawanan terhadap
Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil
direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar kian
mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak
Dien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang
senantiasa membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang
tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya.
Sekilas mengenai Teuku
Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada
tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk
memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura
bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu
pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.
Sejak meninggalnya Teuku
Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan serangan besar-besaran
terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih
dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali
sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya
tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh.
Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak
mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.
Dewi
Sartika…Pahlawan Wanita Dari Tanah Sunda
Pada tanggal 19 Juli 2008
saya, permaisuri dan Firman mengunjungi rumah Dewi Sartika…Pahlawan Wanita Dari
Tanah Sunda………… Rumah yang terletak di Jl.Dewi Sartika – Cicalengka – Kabupaten
Bandung itu terlihat asri dan khas kediaman priyayi jaman dulu.
Kami tidak bisa masuk
memang…..Namun dari luar suasananya mencerminkan kearifan beliau itu masih
ada……Sayang kami tidak bisa lama di sana….Maklum tempat tersebut belum dibuka
untuk umum…….
Berikut
cuplikan sejarah beliau dari Wikipedia:
Dewi Sartika (Bandung, 4
Desember 1884 – Tasikmalaya, 11 September 1947), tokoh perintis pendidikan
untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah
Indonesia tahun 1966.
Dewi Sartika dilahirkan
dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski
melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke
sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya
(kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya,
beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan
Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa
Belanda.
Sejak kecil, Dewi Sartika
sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil
bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di
sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di
kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya
alat bantu belajar.
Waktu itu Dewi Sartika
baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh
kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang
ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu
belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti
itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Ketika sudah mulai remaja,
Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya yang semakin dewasa semakin
menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh
pamannya, Bupati Martanagara, pamannya sendiri, yang memang memiliki keinginan
yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak
menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang
kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir.
Namu karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika
bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.
Tahun 1906, Dewi Sartika
menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi
dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu
merupakan Sekolah Latihan Guru.
Sejak 1902, Dewi Sartika
sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di
belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota
keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis,
dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan
Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola
Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga
orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid.
Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan
pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905,
sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon
Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta
bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun
1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang
tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya
diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah
formal.
Dewi Sartika meninggal 11
September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman
sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun
kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan
Karang Anyar, Bandung.
Pangeran
Diponegoro (1785-1855)
Dilahirkan dari keluarga
Kesultanan Yogyakarta, memiliki jiwa kepemimpinan dan kepahlawanan. Hatinya
yang bersih dan sebagai seorang pangeran akhirnya menuntunnya menjadi seorang
yang harus tampil di depan guna membela kehormatan keluarga, kerajaan, rakyat
dan bangsanya dari penjajahan Belanda.
Namun resiko dari
kebersihan hatinya, ia ditangkap oleh Belanda dengan cara licik, rekayasa
perundingan. Namun walaupun begitu, beliau tidak akan pernah menyesal karena
beliau wafat dengan hati yang tenang, tidak berhutang pada bangsanya,
rakyatnya, keluarganya, terutama pada dirinya sendiri.
Kejujuran, kesederhanaan,
kerendahan hati, kebersihan hati, kepemimpinan, kepahlawanan, itulah barangkali
sedikit sifat yang tertangkap bila menelusuri perjalanan perjuangan Pahlawan
kita yang lahir di Yogyakarta tanggal 11 November 1785, ini.
Pangeran Diponegoro yang
bernama asli Raden Mas Ontowiryo, ini menunjukkan kesederhanaan atau kerendahan
hatinya itu ketika menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengku Buwono III untuk
mengangkatnya menjadi raja. Beliau menolak mengingat bunda yang melahirkannya
bukanlah permaisuri.
Bagi orang-orang yang
tamak akan kedudukan, penolakan itu pasti sangat disayangkan. Sebab bagi orang
tamak, jangankan diberi, bila perlu merampas pun dilakukan. Melihat penolakan
ini, sangat jelas sifat tamak tidak ada sedikitpun pada Pangeran ini. Yang ada
hanyalah hati yang bersih. Beliau tidak mau menerima apa yang menurut beliau
bukan haknya. Itulah sifat yang dipertunjukkannya dalam penolakan terhadap
tawaran ayahnya tersebut.
Namun sebaliknya, beliau
juga akan memperjuangkan sampai mati apa yang menurut beliau menjadi haknya.
Sifatnya ini jelas terlihat jika memperhatikan sikap beliau ketika melihat
perlakuan Belanda di Yogyakarta sekitar tahun 1920. Hatinya semakin tidak bisa
menerima ketika melihat campur tangan Belanda yang semakin besar dalam
persoalan kerajaan Yogyakarta. Berbagai peraturan tata tertib yang dibuat oleh
Pemerintah Belanda menurutnya sangat merendahkan martabat raja-raja Jawa. Sikap
ini juga sangat jelas memperlihatkan sifat kepemimpinan dan kepahlawanan
beliau.
Sebagaimana diketahui
bahwa Belanda pada setiap kesempatan selalu menggunakan politik
‘memecah-belah’-nya. Di Yogyakarta sendiri pun, Pangeran Diponegoro melihat,
bahwa para bangsawan di sana sering di adu domba Belanda. Ketika kedua
bangsawan yang diadu-domba saling mencurigai, tanah-tanah kerajaan pun semakin
banyak diambil oleh Belanda untuk perkebunan pengusaha-pengusaha dari negeri
kincir angin itu.
Melihat keadaan demikian,
Pangeran Diponegoro menunjukkan sikap tidak senang dan memutuskan meninggalkan
keraton untuk seterusnya menetap di Tegalrejo. Melihat sikapnya yang demikian,
Belanda malah menuduhnya menyiapkan pemberontakan. Sehingga pada tanggal 20
Juni 1825, Belanda melakukan penyerangan ke Tegalrejo. Dengan demikian Perang
Diponegoro pun telah dimulai.
Dalam perang di Tegalrejo ini,
Pangeran dan pasukannya terpaksa mundur, dan selajutnya mulai membangun
pertahanan baru di Selarong. Perang dilakukan secara bergerilya dimana pasukan
sering berpindah-pindah untuk menjaga agar pasukannya sulit dihancurkan pihak
Belanda. Taktik perang gerilya ini pada tahun-tahun pertama membuat pasukannya
unggul dan banyak menyulitkan pihak Belanda.
Namun setelah Belanda
mengganti siasat dengan membangun benteng-benteng di daerah yang sudah
dikuasai, akhirnya pergerakan pasukan Diponegoro pun tidak bisa lagi sebebas
sebelumnya. Disamping itu, pihak Belanda pun selalu membujuk tokoh-tokoh yang
mengadakan perlawanan agar menghentikan perang. Akhirnya, terhitung sejak tahun
1829 perlawanan dari rakyat pun semakin berkurang.
Belanda yang sesekali
masih mendapatkan perlawanan dari pasukan Diponegoro, dengan berbagai cara
terus berupaya untuk menangkap pangeran. Bahkan sayembara pun dipergunaan.
Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap
Diponegoro. Diponegoro sendiri tidak pernah mau menyerah sekalipun kekuatannya
semakin melemah.
Karena berbagai cara yang
dilakukan oleh Belanda tidak pernah berhasil, maka permainan licik dan kotor
pun dilakukan. Diponegoro diundang ke Magelang untuk berunding, dengan jaminan
kalau tidak ada pun kesepakatan, Diponegoro boleh kembali ke tempatnya dengan
aman. Diponegoro yang jujur dan berhati bersih, percaya atas niat baik yang
diusulkan Belanda tersebut. Apa lacur, undangan perundingan tersebut rupanya
sudah menjadi rencana busuk untuk menangkap pangeran ini. Dalam perundingan di
Magelang tanggal 28 Maret 1830, beliau ditangkap dan dibuang ke Menado yang
dikemudian hari dipindahkan lagi ke Ujungpandang.
Setelah kurang lebih 25
tahun ditahan di Benteng Rotterdam, Ujungpandang, akhirnya pada tanggal 8
Januari 1855 beliau meninggal. Jenazahnya pun dimakamkan di sana. Beliau wafat
sebagai pahlawan bangsa yang tidak pernah mau menyerah pada kejaliman manusia.
Tuanku Imam
Bonjol
Tuanku Imam Bonjol (TIB)
(1722-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkam SK Presiden RI
Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November 1973, adalah pemimpin utama Perang Paderi
di Sumatera Barat (1803-1837) yang gigih melawan Belanda.
Selama 62 tahun Indonesia
merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang publik bangsa: sebagai nama
jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran Rp 5.000 keluaran
Bank Indonesia 6 November 2001.
Namun, baru-baru ini
muncul petisi, menggugat gelar kepahlawanannya. TIB dituduh melanggar HAM
karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan
“jutaan” orang di daerah itu (http://www.petitiononline.
com/bonjol/petition.html).
Kekejaman Paderi disorot
dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar
Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (2006)
(Edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi Hamka, 1974), kemudian
menyusul karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007).
Kedua penulisnya,
kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyangnya dan orang
Batak umumnya selama serangan tentara Paderi 1816-1833 di daerah Mandailing,
Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober 2007).
Mitos
kepahlawanan
Ujung pena kaum akademis
harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya seyogianya tidak mengandung
“hawa panas”. Itu sebabnya dalam tradisi akademis, kata-kata bernuansa
subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis.
Setiap generasi berhak
menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun, generasi baru bangsa ini—yang
hidup dalam imaji globalisme—harus menyadari, negara-bangsa apa pun di dunia
memerlukan mitos-mitos pengukuhan. Mitos pengukuhan itu tidak buruk. Ia adalah
unsur penting yang di-ada-kan sebagai “perekat” bangsa. Sosok pahlawan
nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja XII,
juga TIB, dan lainnya adalah bagian dari mitos pengukuhan bangsa Indonesia.
Jeffrey Hadler dalam “An
History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and
Uses of History” (akan terbit dalam Journal of Asian Studies, 2008)
menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan hingga
zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan.
Pertama, menciptakan mitos
tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu
bangsa.
Kedua, mengeliminasi
wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang toleran
terhadap keragaman agama dan budaya.
Ketiga, “merangkul”
kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma negatif
dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.
Kita tak yakin, sudah
adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan tokoh lokal lain
yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai pahlawan nasional.
Kita juga tahu pada zaman
itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan beberapa kerajaan tradisional
Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang beberapa kerajaan
tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda karena didorong
semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan untuk
mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat
kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan nasional
karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.
Bukan manusia sempurna
Tak dapat dimungkiri,
Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori
bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang
berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada 21 Februari 1821
mereka resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni
dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang
bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut “mengundang” sisa keluarga Dinasti
Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan
oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu
Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).
Namun, sejak awal 1833
perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Agama melawan Belanda.
Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)— transliterasinya oleh Sjafnir Aboe Nain
(Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber pribumi yang penting tentang Perang Paderi
yang cenderung diabaikan sejarawan selama ini—mencatat, bagaimana kedua pihak
bahu-membahu melawan Belanda.
Dalam MTIB, terefleksi
rasa penyesalan TIB atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan
Mandailing. TIB sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. “Adapun
hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran
kita?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita.
Bagaimana pikiran kalian?), tulis TIB dalam MTIB (hal 39).
Penyesalan dan perjuangan
heroik TIB bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari
segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)—seperti
rinci dilaporkan De Salis dalam Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de
vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie [Akhir Perang
Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; Sebuah Publikasi Sumber]
(2004): 59-183—mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk memberi maaf bagi
kesalahan dan kekhilafan yang telah diperbuat TIB.
Raden Ajeng
Kartini (1879-1904)
Door Duistermis tox Licht,
Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden
Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada
sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya
keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang
sudah membudaya pada zamannya.
Buku itu menjadi pedorong
semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan
Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan
mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang.
Di era Kartini, akhir abad
19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan
dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang
tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan
lain sebagainya.
Kartini yang merasa tidak
bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali
karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan
saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan
wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya
untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.
Pada saat itu, Raden Ajeng
Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879, ini
sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi,
namun sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.
Dia hanya sempat
memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat
sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau
adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita
menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani
masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah.
Dia merasakan sendiri
bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja
padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya
dari anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali.
Sejak saat itu, dia pun
berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan
langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk
merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah
untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan
pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu
diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma.
Bahkan demi cita-cita
mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda
dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik.
Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun
keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya. Guna
mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat
itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.
Berbagai rintangan tidak
menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia
masih mendirikan sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah
didirikannya sebelum menikah. Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian
diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di
tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun,
dan Cirebon.
Setelah meninggalnya
Kartini, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi
sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis
Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar
dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah
menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.
Apa yang sudah dilakukan
RA Kartini sangatlah besar pengaruhnya kepada kebangkitan bangsa ini. Mungkin
akan lebih besar dan lebih banyak lagi yang akan dilakukannya seandainya Allah
memberikan usia yang panjang kepadanya. Namun Allah menghendaki lain, ia
meninggal dunia di usia muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal 17 September
1904, ketika melahirkan putra pertamanya.
Mengingat besarnya jasa
Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara, pemerintahan Presiden Soekarno,
Presiden Pertama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai
Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal
21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian
dikenal sebagai Hari Kartini.
Biografi
Nama: Raden Ajeng Kartini
Lahir: Jepara, Jawa
Tengah, tanggal 21 April 1879
Meninggal: Tanggal 17
September 1904, (sewaktu melahirkan putra pertamanya)
Suami: Raden Adipati
Joyodiningrat, Bupati Rembang
Pendidikan: E.L.S.
(Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar
Prestasi:
- Mendirikan sekolah untuk
wanita di Jepara
- Mendirikan sekolah untuk
wanita di Rembang
Kumpulan surat-surat:
- Door Duisternis tot
Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Penghormatan:
- Gelar Pahlawan
Kemerdekaan Nasional
- Hari Kelahirannya
tanggal 21 April ditetapkan sebagai hari besar
Ki Hajar Dewantara
Seorang tokoh seperti Ivan
Illich pernah berseru agar masyarakat bebas dari sekolah. Niat deschooling
tersebut berangkat dari anggapan Ivan Illich bahwa sekolah tak ubahnya pabrik
yang mencetak anak didik dalam paket-paket yang sudah pasti. “…bagi banyak
orang, hak belajar sudah digerus menjadi kewajiban menghadiri sekolah”, kata
Illich. Demikian pula halnya dengan Rabindranath Tagore yang sempat menganggap
sekolah seakan-akan sebuah penjara. Yang kemudian ia sebut sebagai “siksaan
yang tertahankan”.
Tagore dan Ki Hajar
sama-sama dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan dan bangga atas budaya
bangsanya sendiri. Tagore pernah mengembalikan gelar kebangsawanan (Sir) pada
raja Inggris sebagai protes atas keganasan tentara Inggris dalam kasus Amritsar
Affair. Tindakan Tagore itu dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat. Begitu
juga halnya dengan ditanggalkannya gelar kebangsawanan (Raden Mas) oleh Ki
Hajar. Tindakan ini dilatarbelakangi keinginan untuk lebih dekat dengan rakyat
dari segala lapisan. Antara Ki Hajar dengan Tagore juga merupakan sosok yang
sama-sama cinta kemerdekaan dan budaya bangsanya sendiri. Dipilihnya bidang
pendidikan dan kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak terlepas dari
“strategi” untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Adapun logika
berpikirnya relatif sederhana; apabila rakyat diberi pendidikan yang memadai
maka wawasannya semakin luas, dengan demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan
raganya tentu akan semakin tinggi.
Di barat, Paulo Freire
hadir dengan konsep pendidikan pembebasan. Di sini, Ki Hajar Dewantara menjadi
pahlawan pendidikan nasional karena pendidikan sistem among yang ia kembangkan
di taman siswa. Ungkapannya sangat terkenal; “tut wuri handayani”, “ing madya
mangun karsa”, dan “ing ngarsa sung tulada”. Istilah inipun tak hanya populer
di kalangan pendidikan, tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan lain.
Siapakah sebenarnya tokoh
pelopor pendidikan bangsa ini?
Siapa sih, yang tidak
kenal dengan tokoh yang satu ini? Pejuang gigih, politisi handal, guru besar
bangsa, pendiri Taman Siswa, memang sudah diakui oleh sejarah. Tapi sebagai
pribadi yang keras tapi lembut, ayah yang demokratis, sosoknya yang sederhana,
penggemar barang bekas, belum banyak orang tahu. Bahkan bagaimana tiba-tiba dia
dipanggil dengan nama Ki Hajar Dewantara juga belum banyak yang tahu.
Tokoh peletak dasar
pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat,
dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis, tanggal 2 Mei 1889. Ia berasal dari
lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah
Dasar ELS (sekolah dasar Belanda) dan setelah lulus, ia meneruskan ke STOVIA
(sekolah kedokteran Bumi putera) di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai. Kemudian
bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedya Tama, Midden
Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia
tergolong penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan
patriotik serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain menjadi seorang
wartawan muda R.M. Soewardi juga aktif dalam organisasi sosial dan politik, ini
terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi Oetama dan mendapat tugas yang cukup
menantang di seksi propaganda. Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk
mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu
mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Setelah itu pada tanggal
25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij yang bertujuan mencapai
Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan bersama dengan dr. Douwes Dekker
dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berusaha didaftarkan status badan
hukumnya pada pemerintahan kolonial Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11
Maret 1913, yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil
pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakannya adalah karena
organisasi ini dianggap oleh penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme
rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial
Belanda !
Sisingamangaraja
XII
Ketika Sisingamangaraja
XII dinobatkan menjadi Raja Batak, waktu itu umurnya baru 19 tahun. Sampai pada
tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan
tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan
Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu
dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi
suatu negeri semua yang “terbeang” atau ditawan, harus dilepaskan.
Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan
sangat menghargai kemerdekaan. Belanda pada waktu itu masih mengakui Tanah
Batak sebagai “De Onafhankelijke Bataklandan” (Daerah Batak yang tidak
tergantung pada Belanda.
Tahun 1837, kolonialis
Belanda memadamkan “Perang Paderi” dan melapangkan jalan bagi pemerintahan
kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan
Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola,
Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga.
Karena itu, sejak tahun
1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu daerah-daerah yang telah
direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut “Residentie Tapanuli dan
Onderhoorigheden”, dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara
administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah
Batak lainnya, yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi,
Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui
Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau ‘De Onafhankelijke Bataklandan’.
Pada tahun 1873, Belanda
menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh.
Saat itu Tanah Batak di mana Raja Sisingamangaraja XII berkuasa, masih belum
dijajah Belanda.
Raja Sisingamangaraja XII
cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok
Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba,
Samosir, Dairi dan lain-lain.
Raja Sisingamangaraja XII
cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja
Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di
Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil
tiga keputusan sebagai berikut :
1. Menyatakan perang
terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak
diganggu
3. Menjalin kerjasama
Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.
Tahun 1877, mulailah perang
Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya.
Dimulai di Bahal Batu,
Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30 tahun.
Belanda mengerahkan
pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin
Raja Sisingamangaraja XII.
Tahun 1882, hampir seluruh
daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap
dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja XII antara lain Panglima
Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah
Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan
penembak-penembak meriam.
Tahun 1883, seperti yang
sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Sisingamangaraja XII, kini giliran Toba
dianeksasi Belanda. Domino berikut yang dijadikan pasukan Belanda yang besar
dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat di Pantai Sibolga. Juga dikerahkan
pasukan dari Padang Sidempuan.
Raja Sisingamangaraja XII
membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Baik kekuatan laut
dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII dikerahkan. Empat puluh Solu
Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya sampai 20 meter dan mengangkut
pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang melaju menuju Balige. Pertempuran
besar terjadi.
Pada waktu itulah, Gunung
Krakatau meletus. Awan hitam meliputi Tanah Batak. Suatu alamat buruk
seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada situasi yang kritis,
Sisingamangaraja XII berusaha melakukan konsolidasi memperluas front
perlawanan. Beliau berkunjung ke Asahan, Tanah Karo dan Simalungun, demi
koordinasi perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda.
Dalam gerak perjuangannya
itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja Sisingamangaraja XII.
Perlawanan pasukan
Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga berani
mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala bantuan dari Batavia,
Fort De Kok, Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para
tawanan diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan
Belanda.
Tahun 1890, Belanda
membentuk pasukan khusus Marsose untuk menyerang Sisingamangaraja XII. Pada
awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil di Aceh.
Tahun 1903, Panglima Polim
menghentikan perlawanan. Tetapi di Gayo, dimana Raja Sisingamangaraja XII
pernah berkunjung, perlawanan masih sengit. Masuklah pasukan Belanda dari Gayo
Alas menyerang Sisingamangaraja XII.
Tahun 1907, di pinggir
kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan
Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah
Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten Christoffel.
Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi
serta putrinya Lopian. Konon Raja Sisingamangaraja XII yang kebal peluru tewas
kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya.
Demikianlah, tanpa kenal
menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah ditawan, gigih,
ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, selama tiga dekade,
telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air
dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara.
Kemudian oleh Yayasan
Universitas Sisingamangaraja XII pada tahun 1984 telah didirikan Universitas
Sisingamangaraja XII (US XII) di Medan, pada tahun 1986 Universitas
Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Silangit Siborong-borong Tapanuli
Utara dan pada tahun 1987 didirikan STMIK Sisingamangaraja XII di Medan
Posting Komentar